kutipan bung karno:character and nation building

Membangun karakter Bangsa

Bung Karno mengatakan, sudah lama ia memikirkan untuk memberikan dasar negara kepada negara Indonesia Merdeka. Ia sampai pada satu kesimpulan, dasar yang diusulkan adalah PANCASILA, yang dikatakannya sudah dipikirkannya selama 16 tahun dan sekarang dipersembahkan sebagai lima mutiara mahal harganya, yaitu Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, keadilan Sosial, dan  ketuhanan yang Maha Esa. Setelah dirumuskan kembali, mutiara Ketuhanan yang Maha Esa, dinaikkan menjadi sila pertama dan internasionalisme ditegaskan menjadi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Character and Nation Building, bung Karno menjelaskan, “membangun manusia Indonesia baru tidak mudah. Apalagi bangsa Indonesia pernah dijajah belanda selama tiga setengah abad lamanya dan Jepang selama tiga setengah tahun. Bangsa Indonesia sudah terbiasa sebagai bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lainnya.”

“pembangunan nasional Indonesia di segala bidang, terutama pembangunan character dan nation  yang universal, baik ekonomi, social, mental akhlak, keagamaan maupun politik. Dalam Amanat Penderitaan Rakyat ada beberapa unsure politik ekonomi, social, akhlak dan agama, juga kebudayaan, yaitu kultur yang membuat manusia Indonesia baru.”

Bung Karno selanjutnya menegaskan, “saya selalu anjurkan agar Indonesia ini bangun kembali membuang jauh-jauh mental penjajah dan kembali kepada kepribadian bangsa Indonesia. Character and nation building penting sekali, karena merupakan dasar dari segala kehidupan bangsa indonesi. Mau membangun negara dan bangsa diperlukan karakter, akhlak yang mulia, mental yang baik. Suatu bangsa tidak akan membangun apa pun dengan karakter mental yang bobrok, karakter dan mental yang sudah rusak. Maka dari itu pembangunan karakter adalah penting sekali, sukar sekali dan memerlukan waktu yang tidak pendek, memerlukan waktu lama.”

Bung Karno meneruskan, “dalam masa nation building bermacam-macam bahaya dan godaan timbul. Karena itu, nation building membutuhkan bantuan berupa revolusi mental. Segala pekerjaan baik kecil maupun besar tidak dapat dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang tidak mempunyai akhlak yang mulia dan bermental baik.”

“Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. For a fighting nation there is no journey’s end.”

Salah satu jalan untuk mengembalikan karakter bangsa ini adalah sikap tanggung jawab, “Jalankanlah peran sesuai posisinya masing-masing”, begitu Siswono mangatakan. Gede Raka menambahkan, bahwa Apa yang kita lakukan saat ini akan menjadi “butterlfly effect” di kemudian hari. Bangun karakter bangsa, karena “Knowledge is power, but Character is more.”

Sejarah Penggunaan Istilah Indonesia

Kata “Indonesia” tumbuh di Hindia Belanda pada awal abad 20, yakni masa-masa Pergerakan Nasional. Penggunaan ini awalnya hanya untuk menunjukkan kesamaan identitas ciri masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Kaum Pergerakan Nasional yang dimotori pelajar dan pemuda-lah yang sering menggunakan istilah ini. Tujuannya adalah tidak lain untuk menggalang persatuan dalam pergerakan organisasi. Istilah “Indonesia” semakin populer tatkala diikrarkannya “Sumpah pemuda 28 Oktober 1928” oleh para organisasi pergerakan pemuda yang sepakat menggunakan satu istilah “Indonesia” dalam kesatuan Tanah Air, Bangsa, Dan Bahasa. Namun, istilah “Indonesia” ternyata sudah lama muncul di Eropa dengan skala relative terbatas pada karya tulisan orang-orang Eropa.
Istilah “Indonesia” pertama kali digagas pada 1850 dalam bentuk “Indu-Nesians” oleh pengamat asal Inggris, yakni George Samuel Windsor Earl. Earl menggunakan istilah tersebut sebagai istilah etnografis. Tetapi, Earl yang tidak puas dengan istilah tersebut langsung menggantikannya dengan istilah yang lebih khusus, yakni “Malayu-Nesians”.
James Logan, kolega dari Earl, memutuskan bahwa “Indonesian” sebenarnya adalah kata yang lebih tepat digunakan sebagai istilah geografis, bukan etnografis seperti yang digagas oleh Earl. Menurut logan, “Indonesia” lebih tepat untuk istilah geografis yang diambil dari istilah “Indian Islands” untuk wilayah di Hindia Belanda. Sedangkan pengistilahan individu / orang yang menempati geografis tersebut digunakan istilah “Indonesian” untuk “Indian archipelagian”. Dengan membedakan antara penggunaan kata secara geografis dan etnografis, Logan menjadi orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia” untuk menjabarkan kawasan geografis kepulauan Indonesia. Istilah tersebut tetap dipakai oleh Logan secara relative bebas dalam setiap tulisannya.
Baru pada tahun 1877, seorang ahli antropologi asal prancis, E.T. Hamy, menggunakan kembali kata “Indonesia“ untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan “pra-Melayu” tertentu di kepulauan Indonesia. Istilah Indonesia selanjutnya semakin banyak dipakai dalam beberapa tulisan peneliti, seperti: pada tahun 1880, A.H. Keane (Antropologi Britania); 1880 N.B. Dennys (Ahli Linguistic Britania); 1890, Sir William Edward Maxwell (Administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu Britania); dan Adolf Bastian (Ahli Etnografi Jerman) menggunakan istilah “Indonesia” dalam karyanya ‘Indonesen Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel’ pada tahun 1884-1894. Maka sejak saat itu, penggunaan istilah “Indonesia” semakin populer di banyak kalangan penulis dan peneliti Barat, dan berlanjut terus hingga saat ini.

Rujukan:
Elson, R. 2008. The Idea Of Indonesia: Sejarah Pemikiran Dan Gagasan.

Republik Indonesia Serikat

1 Maret 2010 1 komentar

1 Latar Belakang Terbentuknya RIS
Pada tanggal 15 Juli 1946, Dr. H.J. van Mook memprakarsai penyelenggaraan konferensi di Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi ini dihadiri oleh beberapa utusan daerah yang telah dikuasai Belanda. Konferensi Malino membahas pembentukan Negara-negara bagian dari suatu Negara federal. Berawal dari konferensi tersebut, Van Mook atas nama Negara Belanda mulai membentuk negara-negara boneka yang tujuannya adalah untuk mengepung dan memperlemah keberadaan Republik Indonesia. Dengan terbentuknya Negara-negara boneka, RI dan Negara-negara bagian akan dengan mudah diadu domba oleh Belanda. Hal ini merupakan perwujudan dari politik koloniall Belanda, yaitu devide et impera.
Sejak kembalinya para pemimpin RI ke Yogyakarta 6 Juli 1949, perundingan dengan BFO yang telah dirintis di Bangka dimulai lagi. Yang dibahas dalam perundingan itu adalah pembentukan pemerintah peralihan sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat. Kemudian pada tanggal 19-22 Juli 1949, diadakan perundingan diantara kedua belah pihak, yang disebut konferensi antar Indonesia. Konferensi itu memperlihatkan bahwa politik divide et impera Belanda untuk memisahkan daerah-daerah di luar Republik dari Republik Indonesia, mengalami kegagalan. Pada konferensi antar Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta itu dihasilkan persetujuan mengenai bentuk Negara dan hal-hal yang bertalian dengan ketatanegaraan Negara Indonesia Serikat.
1 Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama RIS berdasarkan demokrasi dan federalisme.
2 RIS akan dikepalai seorang Presiden konstitusional dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
3 Akan dibentuk dua badan perwakilan, yaitu sebuah dewan perwakilan rakyat dan sebuah dewan perwakilan Negara bagian (senat). Pertama kali akan dibentuk dewan perwakilan rakyat sementara.
4 Pemerintah federal sementara akan menerima kedaulatan bukan saja dari pihak Negara Belanda, melainkan pada saat yang sama juga dari Republik Indonesia.

Di bidang Militer juga telah disepakati persetujuan sebagai berikut :
1 Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional. Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
2 Pertahanan Negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS; Negara-negara bagian tidak akan memiliki angkatan perang sendiri.
3 Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia. Angkatan perang RIS akan dibentuk oleh pemerintah RIS dengan inti angkatan perang RI (TNI), bersama-sama dengan orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB, dan territoriale bataljons.
4 Pada masa permulaan RIS Menteri Pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar APRIS.
Konferensi antar Indonesia dilanjutkan kembali di Jakrta pada tanggal 30 Juli sampai 2 Agustus 1949, dan dipimpin oleh Perdana Menteri Hatta yang membahas masalah pelaksanaan dari pokok-pokok persetujuan yang telah disepakati di Yogyakarta. Kedua belah pihak setuju untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang bertugas menyelenggarakan suasana tertib sebelum dan sesudah KMB. Sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri dengan musyawarah di dalam konferensi antar Indonesia, kini Indonesia siap menghadapi KMB.
Pada tanggal 4 Agustus 1949, diangkat delegasi RI yang terdiri dari : Drs. Moh Hatta, Mr. Moh Roem, Prof. Dr.Mr. Supomo, dr. J.Leimena, Mr. Alisastroamidjojo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Sumardi. Delegasi BFO di wakili oleh Sultan Hamid II dari Pontianak.
Pada tanggal 23 Agustus 1949 KMB dimulai di Den Haag. Konferensi selesai pada tanggal 2 November 1949. Hasil Konferensi adalah sebagai berikut :
• Serah-terima kedaulatan dari pemerintah koloniall Belanda kepada RIS kecuali Papua Bagian Barat. Indonesia ingin agar semua daerah bekas jajahan Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda sendiri ingin menjadikan Papua bagian barat Negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini, karna itu pasal kedua menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
• Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia , dengan monarch Belanda sebagai Kepala Negara.
• Pengambilalihan hutang Hindia Belanda oleh RIS.
1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949
• Pasukan Belanda, KL, dan KM akan dipulangkan, sedangkan KNIL akan dibubarkan dan bekas anggota KNIL diperbolehkan menjadi APRIS.
Hasil-hasil KMB kemudian diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Presiden Soekarno. Keesokan harinya Ir. Soekarno terpilih menjadi presiden RIS. Pada tanggal 20 Desember 1949 Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri RIS. Adapun pemangku jabatan Presiden RI adalah Mr. Asaat ( mantan Ketua KNIP ) yang dilantik pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi RIS dipimpin Moh. Hatta berangkat ke negeri Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda. Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan itu dilakukan bersamaan, yaitu di Indonesia dan Belanda pada 27 Desember 1949. Dengan demikian, sejak saat itu RIS menjadi Negara merdeka dan berdaulat, serta mendapat pengakuan internasional. Berakhirlah periode perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

2. Keadaan RIS dari Tahun 1949 – 1950
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merdeka dan berdaulat adalah Negara hukum demokratis yang berbentuk federal. RIS dlakukan oleh pemerintah federal bersama parlemen dan senat. Wilayahnya meliputi seluruh daerah Indonesia yang terdiri atas:
1. Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dan Negara Sumatera Selatan.
2. Kesatuan poltik yang berkebangsaan yaitu Jawa Tengah Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
3. Daerah-daerah lain yang bukan daerah bagian.
Alat perlegkapan RIS terdiri atas presiden, Dewan Menteri, Senat, Dewan perwakilam Rakyat, mahkamah agung, dan dewan pemerksa keuangan. Parlemen terdiri atas 150 orang, Senat sebagai perwakilan Negara-negara bagian adalah Badan Penasehat. Tiap Negara bagian mengangkat 2 orang wakil di Senat.
Sementara itu rakyat tidak setuju apabila Konstitusi RIS diberlakukan secara dominan. Dalam keadaan rakyat yang kecewa, ada beberapa pihak yang mengambil kesempatan tersebut dengan mengadakan suatu aksi pengacaan atau pemberontakan di beberapa daerah.
Gerakan pertama adalah aksi pengacauan oleh Westerling di daerah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Bandung. Dalam melancarkan aksinya, Westerlint menyatakan dirinya sebagai “Ratu Adil” dengan dalih untuk menyelamatkan RIS.
Pada 23 Januari 1950 Westerling menguasai Bandung dan merencanakan akan mengambil alih pemerintahan di Jakarta. Pemberontakan berhasil ditumpas, namun Westerling berhasil meloloskan diri. Melalui penyelidikan intelijen, Sultan Hamid II terlibat dalam pemberontakan ini. Ia menentang masuknya TNI ke Negara Bagian Kalimantan Barat dan tidak mau mengakui menteri pertahanan RIS, Sultan Hamengkubuwono IX.
Di Makasar terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis yang semula menolak peleburan anggota-anggota KNIL ke dalam APRIS. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh pasukan APRIS. Andi Azis menyerahkan diri dan ia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh Panglima Tentara di Yogyakarta.
Di Maluku Selatan, timbul pemberontakan pimpinan Dr. Soumokil, bekas jaksa agung NIT. Pada tanggal 25 April 1950 ia memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Pemerintah mengirimkan dr. Leimena untuk menyelesaikan masalah tersebut secara diplomatik. RMS menolak untuk berunding. Akhirnya pemerintah membentuk ekspedisi di bawah pimpinan Kol. Kawilarang untuk menumpas RMS. Pada tanggal 28 September 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan menguasai pulau Ambon. Pemberontakan berhasil dipatahkan namun beberapa tokohnya melarikan diri ke Belanda, kemudian membentuk “Pemerintah buangan”.
Ketiga pemberontakan yang terjadi selama masa pemerintahan RIS merupakan suatu keadaan yang memang dipersiapkan oleh Belanda untuk mengacau RIS melalui kekuatan militernya. Kondisi ini akan menimbulkan suatu anggapan pada dunia internasional bahwa RIS tidak dapat memelihara keamanan di wilayahnya.
Persoalan lain yang dihadapi Pemerintah RIS adalah adanya desakan dari rakyat di beberapa Negara bagian untuk segera dapat bergabung dengan RIS dan mengubah bentuk Negara. Kebijaksanaan pemerintah dalam hal ini didasarkan pada konstitusi sementara yang terbentuk sebagai hasil persetujuan bersama, di mana pemerintah telah berjanji untuk menjalankan dan memelihara peraturan yang tercantum dalam onstitusi RIS. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kebijakan politik dalam negerinya terutama menyangkut perubahan bentuk kenegaraan RIS, pemerintah harus berpegang pada ketentuan-ketentuan Konstitusi Sementara itu.
Negara bagian yang menghendaki adanya perubahan bentuk Negara itu antara itu antara lain NIT. Dalam rapat istimewa yang terjadi pada bulan Maret 1950, di mana partai-partai politik dan organisasi yang mewakili rakyat Indonesia Timur telah mengeluarkan suatu pernyataan:
1. Rakyat Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya NIT, karena NIT adalah ciptaan Van Mook;
2. Rakyat Indonesia Timur adalah rakyat Indonesia yang setia pada kemerdekaan 17 Agustus 1945;
3. Republic Indonesia adalah ciptaan Rakyat Indonesia sendiri bedasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945;
4. Dalam mempertahankan isi Proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia Timur tetap menganggap Irian adalah suatu daerah Republik Indonesia yang harus direbut kembali.
Selain NIT, dewan Bangka menyatakan setuju dengan segala resolusi dan mosi-mosi yang menuntut pemasukan daerah otonom Bangka ke dalam Republik Indonesia. Di Madura muncul suatu tuntutan dari fraksi Indonesia dan Fraksi Islam dalam DPRS Madura yang menuntut agar Madura hendaknya digabungkan dalam Republik. Hal yang serupa dilakukan oleh Negara Sumatera Selatan.
RIS dihadapkan pada persoalan keuangan Negara. Sesuai dengan hasil keputusan KMB bahwa Repulik harus menanggung semua hutang, baik hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri yang merupakan warisan dari pemerintah Hindia-Belanda. Untuk mengatasi kesulitan di bidang keuangan, RIS mengambil jalan:
1. Mengadakan rasionalisasi dalam susunan Negara dan dalam badan-badan serta alat-alat pemerintahan;
2. Menyelidiki secara lebih baik dan teliti mengenai anggaran Negara-negara bagian;
3. Mengintensiveer pemungutan berbagai iuran dan cukai;
4. Mengadakan pajak baru;
5. Mengadakan pinjaman nasional.
Masalah berikutnya yang dihadapi oleh Pemerintah RIS adalah mengenai persoalan “Negara Hukum”. Langkah pertama dalam lapangan kehakiman ialah mempelajari keadaan tata hokum Indonesia pada waktu penyerahan kedaulatan, terutama menyelidiki bagian hokum mana yang masih berlakumenurut Konstitusi RIS, dan bagian hokum mana yang telah hilang kekuatannya terkait dengan penyerahan kedaulatan. Ini akan diselidiki pula, hokum mana yang harus segera dicabut, diubah atau diganti terkait dengan RIS.
Masalah terakhir adalah angkatan perang. TNI merupakan inti dari Angkatan Perang RIS. Maka dalam persetujuan KMB mengenai persoalan tentara yang disebut hanya persoalan reorganisasi KNIL. Masalah ini pula yang turut menyebabkan pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis.

3. Akhir Pemerintahan RIS
Negara RIS buatan Belanda tidak dapat bertahan lama karena muncul tuntutan-tuntutan untuk kembali ke dalam bentuk NKRI sebagai perwujudan dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Gerakan menuju pembentukan NKRI mendapat dukungan yang kuat dari seluruh rakyat. Banyak Negara-negara bagian satu per satu menggabungkan diri dengan Negara bagian Republik Indonesia.
Pada tanggal 10 Februari 1950 DPR Negara Sumatera Selatan memutuskan untuk menyerahkan kekuasaannya pada RI. Tindakan semacam ini dengan cepat dilakukan oleh Negara-negaa bagian lainnya ynag cenderung untu menghapuskan Negara-negara bagian dan menggabungkan diri ke dalam RI. Pada akhir Maret 1950, hanya tersisa empat Negara bagian dalam RIS, yaitu Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Negara Indonesia Timur, dan Republik Indonesia. Pada akhir April 1950, maka hanya Republik Indonesia yang tersisa dalam RIS.
Penggabungan Negara-negara bagian ke dalam RI menimbulkan persoalan baru khususnya dalam hubungan luar negeri. Hal ini karena RI hanya Negara bagian RIS, hubungan luar negeri yang berlangsung selama ini dilakukan oleh RIS. Sehingga peleburan Negara RIS ke dalam RI harus dihindari untuk menjamin kedaulatan negara. Solusinya adalah RIS harus menjelma menjadi RI.
Setelah diadakan konferensi antara Pemerintah RIS dan RI untuk membahas penyatuan negara, pada tanggal 19 Mei 1950, pemerintah RIS dan RI menandatangani Piagam Persetujuan pembentukan Negara kesatuan. Pokok dari isi piagam tersebut adalah kedua belah pihak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya melaksanakan pembentukan Negara kesatuan berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945.
Rapat-rapat antara pemerintah RIS dan RI mengenai Negara kesatuan semakin sering dilakukan. Setelah rapat mengenai Pembagian daerah yang akan merupakan wilayah NKRI, maka pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan yang terakhir dari DPR dan Senat RIS di mana dalam rapat ini akan dibicarakan “piagam pernyataan” terbentuknya NKRI oleh Presiden Soekarno. Setelah pembacaan piagam pernyataan terbentuknya NKRI, maka dengan demikian secara resmi Negara Kesatuan RI terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950.

Majapahit Sepeninggal Hayam Wuruk

16 Desember 2009 Tinggalkan komentar

Kekuasaan sesudah pemerintahan Hayam Wuruk
Sepeninggal Hayam Wuruk, tahta kerajaan majapahit diduduki oleh Wikramawarddhana, ia adalah seorang Pangeran Mataram yang memegang hak waris. Ia juga merupakan menantu sekaligus keponakan raja Hayam Wuruk yang kemudian dikawinkan dengan putrinya, Kusumawardhani. Hayam Wuruk juga mempunyai anak laki-laki yaitu Bhre Wirabhumi tetapi bukan dari permaisuri melainkan merupakan putra dari selirnya. Raja sangat ingin memberikan bagian kekuasaan kepadanya. Kebetulan ia diangkat sebagai kepala daerah di Jawa Timur dan dikawinkan dengan saudara perempuan pemegang hak waris kerajaan itu. Dengan demikian, sesudah Hayam Wuruk wafat, majapahit pada hakekatnya sudah terbagi secara resmi, akan tetapi pengaturan semacam ini akan menjadi kerusuhan setelah Hayam Wuruk mangkat.
Pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) adalah suatu kurun waktu keruntuhan yang cepat sekali. Perang saudara yang berkecamuk sebagai konsekuensi atas penolakan Wirabhumi untuk mengakui kekuasaan Majapahit pada saat penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Wikramawarddhana kepada putrinya yang bernama Suhita. Pada tahun 1401 mulailah timbul persengketaan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawarddhana. Tiga tahun kemudian persngketaan itu makin memuncak, dan menjadi hura-hura yang dikenal dengan peristiwa Paregreg, kedua belah pihak kemudian orang-orangnya menghimpun kekuatan dan akhirnya terjadilah perang. Dalam peperangan tersebut pada mulanya Wikramawarddhana mengalami kekalahan, akan tetapi setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel yakni raja di Bagian Barat, ia dapat mengalahkan Wirabhumi, tahun 1406 Wirabhumi terbunuh dan kepalanya dibawa ke Majapahit sebagai tumbal pemulihan penyatuan kerajaan.
Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu belum reda juga. Bahkan timbul benih balas dendam di kalangan keluarganya sehingga persengketaan keluarga itu semakin berlarut-larut.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1447, karena Suhita tidak mempunyai anak, sepeninggalnya tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya (1447-1451). Pada awal masa pemerintahannya tahun 1447, ia mengeluarkan prasasti Waringipitu, di dalam prasastinya itu ia disebutkan bergelar Wijaya Parakramawarddhana dan dijelaskan bahwa ia tidak lama memerintah. Pada tahun 1451 ia meninggal dan didharmakan di Kertawijayapura.
Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikan menjadi raja dengan bergelar Sri Rajasawardhana (1451-1453). Ia dikenal juga dengan sebutan sang Sinagara. Asal-usulnya tidak jelas kita ketahui, dari prasasti Waringinpitu diketahui bahwa Rajasawardhana disebutkan pada urutan ketiga sesudah raja dan prasasti yang dikeluarkan oleh Kertawijaya menyebutkan bahwa Rajasawardhana telah mempunyai kedudukan yang tinggi dan penting di Kerajaan Majapahit, menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana, selama tiga tahun (1453-1456) Majapahit mengalami masa kekosongan tanpa raja. Sebab-sebabnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga hal ini merupakan akibat dari adanya pertentangan perebutan kekuasaan di antara keluarga raja-raja Majapahit. Pertentangan keluarga yang berlarut-larut itu telah melemahkan kedudukan raja-raja Majapahit baik di pusat maupun di daerah sehingga sepeninggal Rajasawardhana tidak ada seorangpun di antara keluarga raja-raja Majapahit yang sanggup tampil untuk segera memegang tampuk pemerintahan di Majapahit.

Raja-raja akhir Majapahit
Dari tahun 1456-1466 yang memerintah Majapahit adalah Bhre Wengker dengan nama Hyang Purwawisesa. Dalam tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas, sebelum ia menjadi raja di Majapahit ia berkedudukan sebagai raja daerah Tumapel selama dua tahun. Dalam tahun 1466, ia terdesak oleh Kertabhumi, anak bungsu Rajasawardhana yang ingin merebut kekuasaan Majapahit sehingga Bhre Pandan Salas memindahkan pusat kekuasaannya ke Daha, dan ia wafat pada tahun 1474. di Daha ia digantikan oleh anaknya yakni Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana. Pada masa pemerintahan ini, ia berusaha untuk mempersatukan kembali wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang pecah akibat pertentangan keluarga. Untuk melancarkan aksinya, ia melancarkan peperangan terhadap Bhre Kertabhumi untuk merebut kembali kekuasaan majapahit. Dalam peperangan ini Ranawijaya berhasil merebut Majapahit kembali dan Bhre Kertabhumi gugur di Kedaton yang disebutkan di dalam kitab Pararaton.
Adanya tiga orang tokoh pada masa akhir Kerajaan Majapahit ini, beberapa sarjana menarik kesimpulan bahwa pada masa Majapahit akhir telah muncul suatu dinasti-dinasti baru raja-raja yang berkuasa di Majapahit yaitu Dinasti Girindrawardhana.

Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Berita tradisi menyebutkan bahwa Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 saka (1478 M) yang disimpulkan dalam Candrasangkala “Sirna-ilang-Kertanungbumi” dan disimpulkan bahwa keruntuhannya itu disebabkan karena serangan dari Kerajaan Demak, akan tetapi berdasarkan bukti-bukti yang ada berita runtuhnya kerajaan majapahit sangatlah bertentangan dengan fakta sejarah, di mana berdasarkan bukti tersebut ternyata pada saat itu Kerajaan Majapahit belum runtuh dan masih berdiri untuk beberapa waktu yang cukup lama lagi, dan prasasti-prasasti batu yang berasal dari tahun 1486 menyebutkan masih adanya kekuasaan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Ranawijaya yang bergelar Girindrawana.
Selain sumber dari dalam yang berupa prasasti-prasasti, berita dari luar juga memberi gambaran tentang akhir Kerajaan Majapahit, misalnya berita Cina yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1643 M) masih menyebutkan adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa pada tahun 1499. demikian pula Rui De Brito, Gubernur Portugis di Malaka menyebutkan bahwa di Jawa pada waktu itu terdapat dua raja kafir yaitu Raja Sunda dan Raja Jawa. Penulis Barbosa pada tahun 1518 memberitakan bahwa pada waktu itu masih ada Kerajaan Majapahit, akan tetapi penulis lain dari Italia, Antonio Pigafetta yang berasal dari tahun 1522 memberikan kesan bahwa Kerajaan Majapahit sudah tidak ada, di mana Majaphit hanya berupa sebuah kota di antara kota-kota besar di pulau Jawa. Lebih jauh lagi menurut Pigafetta pada saat itu Pati Unus sebagai Raja Majapahit yang merupakan raja paling berkuasa, akan tetapi dari sumber-sumber lain diketahui bahwa Pati Unus ialah seorang raja Demak yang memerintah pada tahun 1518-1521 yang dikenal dengan Pangeran Sabrang Lor.
Kalau pemberitaan Pigafetta itu dihubungkan dengan pemberitaan Barbosa dapat disimpulkan bahwa antara tahun 1518 dan 1521 di Majapahit telah terjadi suatu pergeseran politik dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus penguasa Demak. Hal itu disebabkan karena Adipati Unus melakukan penaklukan terhadap penguasa Majapahit. Sumber-sumber tradisi seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda menyebutkan bahwa raja-raja Demak menyatakan dirinya sebagai keturunan Prabu Brawijaya raja Majapahit, bahkan di dalam purwaka Caruban Nagari disebutkan dengan jelas bahwa Raden Patah, pendiri dan sultan pertama Demak adalah anak Prabu Brawijaya Kertabhumi. Dengan demikian apabila benar Demak telah mengadakan penyerangan untuk menaklukkan Kerajaan Demak maka hal itu tidak dapat dilepaskan dari rangkaian perang saudara memperebutkan kekuasaan atas tahta Kerajaan Majapahit. Akan tetapi para penulis tradisi telah mengaburkan kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dengan menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit telah runtuh pada tahun 1400 saka (1478 M) karena serangan tentara Demak, yang dipimpin oleh Raden Patah.
Dengan demikian penguasaan Majapahit oleh Demak itu tidaklah terjadi pada tahun 1400 saka (1478 M) dan bukan pula dilakukan oleh Raden Patah terhadap Prabu Brawijaya Kertabhumi, penguasaan Majapahit oleh Demak itu dilakukan oleh Adipati Unus, anak Raden Patah, sebagai tindakan balasan terhadap Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang telah mengalahjan neneknya Bhre Kertabhumi.

Struktur pemerintahan dan birokrasi Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan kuno yang dapat kita ketahui dengan agak lengkap struktur pemerintahan dan birokrasinya. Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit telah mencapai puncak keemasannya. Pada masa itu Majapahit telah memiliki susunan pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur, sehingga selama masa perkembangan berikutnya, sejarah mengenai struktur pemerintahan dan birokrasi tidak banyak berubah.
Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan disentralisasi dengan birokrasi yang terperinci. Hal yang demikian ini terjadi karena adanya pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmologi yakni seluruh Kerajaan Majapahit dianggap sebagai replica dari jagad raya dan raja Majapahit disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahameru.
Raja yang dianggap penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat sekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya diberi kedudukan sebagai raja muda. Di bawah raja Majapahit terdapat sejumlah raja-raja daerah yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah, mereka ini biasanya merupakan saudara-saudara atau para kerabat dekat raja yang memerintah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas kerajaan mereka ini dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti kepada perbendaharaan kerajaan dan juga meliputi fungsi pertahanannya.